Lagi dan lagi dunia pendidikan di wilayah Sukabumi di nodai
dengan berita tawuran antar siswa SMK, hal ini seperti barang yang lumrah dan
sudah menjadi budaya yang dibudayakan. Setiap tahun tawuran antar siswa ini
selalu merenggut korban jiwa, dan yang terbaru adalah bertia tewasnya 4 siswa
SMKN 1 Cibadak dalam aksi tawuran dengan SMK Lodaya (10 Nopember 2013) yang
dimana mereka tewas karena hendak menyelematkan diri dari dari penyergapan
oknum siswa SMK Lodaya dengan cara terjun ke sungai Cimahi. Sayangnya hal ini
berujung pada aksi brutal yaitu pengrusakan sekolah SMK Lodaya oleh kalangan
masa yang terdiri dari masayarakat dan alumni SMKN 1 Cibadak sebagai aksi balas
dendam atas kematian 4 siswa tersebut. (merdeka.com)
Di Sukabumi tawuran antar sekolah sudah bukan hal yang aneh
dan masyarakat pun tahu akan hal ini. Dimulai pada awal tahun 90an mungkin
karena hal yang sepele, seperti saling mengejek, mencemooh, dan sebagainya yang
ternyata efeknya bisa panjang seperti kasus diatas. Karena setiap sekolah
mempunyai yang patut dipertahankan yaitu harga diri, akan tetapi cara
penyelesaiannya tidak harus melalui tindak kekerasan. Pendeknya, penulis tahu
bahwa aksi tawuran di Sukabumi telah merabah, mengekspansi ke daerah tetangga
(Bogor & Cianjur) sebagai wujud sekolah mana yang paling berkuasa.
Tawuran padan zaman sekarang ini merupakan hal primitif warisan
dari orde baru yang diwarnai aksi kekerasan, penyerangan, penganiayaan, yang
biasanya para pelaku mempersenjatai dirinya dengan berbagai macam alat (stik
baseball, stik golf, clurit/arit, golok, katana, pisau, gear kendaraan
bermotor, kayu balok, batu, dsb) yang mana ini merupakan buntut dari masalah
kecil. Tidak seperti tawuran pada zaman dahulu, seperti kata Pamoedya Ananta Toer “Pertama-tama di sinilah (Surabaya) untuk pertama kali aku melihat dan mengenal
kata “tawuran” untuk pertama kali. Ternyata tawuran adalah perkelahian massal antara
para siswa sekolah menengah tertentu lawan sekolah menengah lain. Perkelahian
tersebut hanya dengan tangan. Biasanya perkelahian tersebut menyisakan unggulan
dari dua belah pihak yang berlawanan. Mereka berdua yang kemudian jadi petaruh
siapa kalah siapa menang. Yang lain-lain mengurung dan menyaksikan. Unggulan
yang memang dikalahkan mengakui kekalahannya dengan jalan mengulurkan tangan
untuk menerima jabatan damai. Bila yang diharapkan diterima, permusuhan pun
selesai pada waktu itu juga. Kelompok dua belah pihak serta-merta berjabat
tangan. Setidak-tidaknya itulah yang kusaksikan dua-tiga kali. Jauh berbeda
dari “tawuran” serupa yang terjadi di Jakarta semasa Orde Baru”. (Pramoedya
Ananta Toer, 2005, Jalan Raya Pos, Jalan Deandels)
Tapi bagaimanapun juga tindak kekerasan dalam dunia
pendidikan tidak dibenarkan dari sudut mana pun. Menurut Tan Malaka, pendidikan
adalah membangun proses berpikir, membudayakan dialektika dan menghaluskan
perasaan. Kembali pada masalah sosial yang terjadi pada pelajar SMK di
Sukabumi, upaya apa untuk menghapus budaya tawuran yang sudah seperti duri
dalam daging ini?
Dimana sekolah SMK dipenjuru Indonesia lain yang sukses
menciptakan robot, menciptakan mobil prestasi olimpiade internasional, prestasi
olahraga, serta prestasi lain-lain justru berbanding terbalik dengan pelajar SMK
di Sukabumi yang sibuk dengan aksi tawuran yang sebenarnya ini mencoreng muka sekolah
mereka sendiri.
Pemerintah setempat harus mengambil langkah tegas, dinas
pendidikan Sukabumi tentu harus memperhatikan hal ini. Mungkin bapak bupati dan
gubernur sedang sibuk menata kota atau mengurus ijin pabrik-pabrik dengan
tender yang menghasilkan rupiah dan dinas pendidikan yang selalu sibuk dengan
kurikulum dan sertifikasi guru tapi perhatian terhadap peserta didik seharusnya
tidak dilupakan, karena mereka merupakan penerus bangsa. Mereka itu perlu diperhatikan dan harus
mendapatkan perhatian, andai pemerintah memperhatikan mereka tidak akan mungkin
tawuran antar pelajar ini masih berlangsung yang menimbulkan dendam dan dendam
hingga bosan dan muak kami mendengarnya. Guru pun patut dibina serius yang
dimana mereka turun langsung berhadapan dengan peserta didik mentransfer ilmu
di sekolah, tetapi tidak hanya ilmu yang di serap tetapi etika dan tatak rama
pun harus serius diterapkan agar menciptakan pelajar yang berbudi pekerti luhur,
cerdas yang siap menghadapi dunia sebenarnya setelah keluar dari sekolah
tingkat menengah.
Sebagaimana menurut penulis, pikiran semua orang adalah
utopia yang sempurna dengan angan didalamnya sehingga menghasilkan
imajinasi-imajinasi liar sebagai bentuk dari fantasi yang fana. Maka diharapkan
pembaca dapat memaklumi kekurangan tulisan ini.
Terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar