Minggu, 17 Maret 2013

Cerpen: Tertawa Dalam Gelap

Adzan Magrib berkumandang diseluruh kampung tempat tinggalku, dan itu pun pertanda kalau pertandingan sepak bola harus sudah diakhiri. Memang setiap hari aku dan teman-temanku senang sekali bermain bola dari sore hari hingga sampai matahari terbenam. Aku mempunyai teman yang bernama Adi, Dika, dan Fajar. Dan panggil aku Firli, nama yang diberikan oleh orang tua ku, dan mereka masih bersahabat hingga kini denganku.

"Habis Isya ya!!" Teriakku kepada mereka
"Ok, biasa...diteras rumahku" sambut Adi
"Sippppp!" serentak Dika dan Fajar menyambungnya

Bergegas ku pulang seperti mereka, karena hari semakin gelap dan bayangan pohon-pohon sudah tak terlihat lagi bayangannya. Rumah ku tak terlalu jauh dari lapangan sepak bola yang biasa ku datangi. Melepaskan lelah dengan mandi air hangat memang menyegarkan, nampak uap udara begitu mengepul dari wadah yang sebelumnya ku isi air panas. Sembari memejamkan mata dan tersenyum kecil aku berucap:

"Asyik nih, malem minggu...biarin cuma ngumpul-ngumpul juga, yang pasti seru" pikirku dalam hati

Dengan badan yang kembali bugar selepas mandi, ku lihat aktivitas biasa dirumah ku, adikku yang asyik dengan acara kartun setiap sorenya, Ibuku yang khusyu mengaji, dan seperti biasa Ayahku pulang telat mungkin banyak urusan diluar sana.


***

Malam pun datang beserta isinya yang gelap hanya rembulan pucat dan titik-titik hiasan yang rutin melengkapinya. Angin berhembus lembut yang nampak tak mempan untuk menerjang jaket yang biasa kupakai.
Berjalan melalui gang sempit yang disinari lampu kuning yang sinarnya terlihat malu dibalik sebuah tembok merupakan penerangan yang sudah biasa ku singgahi bila berjalan di kampungku. Rumah Adi memang tak jauh, berjalan 10 menit pun tiba.

"Assalamualaikum, Adiiiiiiiiii... Adiiiiiiiii" panggilku
"Waalaikumsalam..." Terdengar suara kecil nan merdu dari dalam
"Itu pasti adiknya" kataku dalam hati
"Adi ada?" (aku tanya sambil mencuri pandangan menoleh kedalam seisi rumah itu)
"Kakaakkkk.... Kakak, ada yang nyari nih" Adiknya berteriak

Adiknya perempuan sama seperti adikku, mereka seumuran kira-kira sekitar umur 13 tahun.


***
Kami berdua duduk diteras, menuggu Fajar dan Dika yang sepertinya berada dalam perjalanan. Obrolan dan candaan kecil mewarnai malam itu yang diiringi ringkikkan suara kawanan jangkrik dari kebun disamping rumah Adi. Tampak datang sosok anak lelaki, rambutnya agak gondrong dengan sebatang rokok diselipkan dijemarinya berjalan lambat dengan penuh kehati-hatian. Kian mendekat anak lelaki itu tersenyum sambil menghampiri kita.

"Hey Dik! Lama banget.." Tanya Adi
"Mandi dulu dong, bau kan tadi habis main bola" Jawab Dika
"Oyy!" (Teriak Fajar yang datang berlari bergegas merapat menuju teras rumah Adi)

Sambil mengopi bersama dan dengan ditemani beberapa batang rokok malam itu kegiatan kami hanya sekedar berkumpul bersama. Karena malam minggu, pengajian libur. Malam dihari biasa memang kami selalu pergi mengaji ke aula mesjid dengan Ustad muda sebagai guru ngaji kami. Terkenal sering bercanda dan dengan aturannya sewaktu mengaji yaitu "SerSan" (Serius Sapi Santai) membuat kami rajin mengaji.

Aku rasa malam ini sangat indah..
Langit cerah dan lengkap beserta isinya..
Hewan-hewan terdengar bernyanyi dengan suara merdunya..
Tak terlihat awan hitam pertanda hujan malam itu..

Daun bambu pun nampak berkilau..
Rimbun pohon pisang membayang..
Ku lihat segelas kopi..
Malam memang hal yang bukan menakutkan..
Ku syukuri anungerahNya..


"Bosen ya setiap malam minggu gini-gini aja" Kata Dika mengawali pembicaraan
"Ya gini deh kalau gak punya pacar, hahaha" Sambut Fajar sembari menghisap rokoknya
"Main kartu Domino yuk!" Ajak ku
"Bosennnnn!" Serempak mereka menjawab
"Ya trus ngapain? Lanjut ku
"Hmmmm, nyari belut kesawah yuk!" Ajak Adi
"Wah boleh, lumayan kan kalau nanti kita goreng pakai bumbu balado" Dika menyambung
"Setuju nih kalau nyari Belut?" Tanya Adi lagi
"Ok, setuju!" Kataku dan Fajar
"Ok! Mari kita semua pergi menuju sawah, hahaha" Adi tertawa


Persawahan memang tidak jauh dauh dari rumah Adi, makanya kalau malam hari pekarangannya seperti konser musik orkestra hewan-hewan malam yang bercampur dengan suasana langit bagaikan alunan simfoni alami yang indah memanjakan indera pendengaran.


***
Jalan menuju ke sawah memang tidak mudah, keadaan yang gelap sewaktu malam menyulitkan pandangan kami melewatinya hanya. Ketiga lelaki dengan tinggi yang sama berjalan didepanku seranya memanduku berjalan dibelakangnya. Cahaya senter yang dibawa Adi dan sebilah golok ditangan kanannya merupakan senjata kita berburu belut, sempat heran:

Kenapa mencari belut dengan golok? Biasanya kan dengan "urek" (Sebuah tali yang ujungnya diberi kail yang nantinya dimasukan kedalam lubang persembunyian belut)
Ah.. yasudahlah, mungkin ini trik baru, yang penting kan tangkapannya (Pikir ku)

Persawahan menghampar luar, tapi semua gelap dan hitam sedikit cahaya rembulan yang dapat memperlihatkan daun-daun padi yang berwarna hijau. Lembut suara air, nyanyian kodok-kodok dan jangkrik yang berada dari penjuru sawah membuat pikiran kami sedikit berimajinasi serasa kita sedang berada disuatu tempat yang antah berantah namun terbayang indah.

"Duh, mana nih lubang belutnya, dari tadi gak keliatan" Guram Adi
"Gelap coy, makanya gak keliatan" Sahut Dika
"Coba liat-liat, kasih tahu kalau nemu lubang belut!" Jawab Adi
"Disini gak ada, tadi disana juga gak ada susah nih dapat belut" Celoteh Fajar

Karena waktu sudah lumayan lama kita berada dipematang sawah, dan sepertinya kita tidak mendapatkan hasil yang seperti diharapkan, terlihat mereka bertiga sedang berdiskusi sembari mengayunkan golok kearah lumpur sawah yang gembur dan berair. Aku memang agak jauh dari mereka, karena tadinya kita memang berpencar untuk mencari lubang belut.

"Woyy! Udah dapet belum?" Teriakku
"Udah, lumayan ada enam nih, tambah lagi jangan?" Jawab Adi
"Iya dong, biar kenyang" Sahutku

Akhirnya kita mendapatkan hasil buruan malam ini, tapi aku tidak tahu seperti apa hasil buruan yang kita dapat. Samar-samar dan terlihat mengkilap didalam sebuah wadah sederhana akau berfikir banyak juga belut yang kita dapat.


***
Malam ini sepertinya hampir menuju tengah malam, karena udara yang semakin dingin terasa menemani kita berjalan pulang kerumah Adi untuk mengolah buruan yang kita dapat. Sunyi, sepi, hening jalan yang kita susuri dari sawah menambah aroma imajinasi kita semakin berfikir hal-hal yang diluar nalar.
Akhirnya kita sampai, Adi dan Dika bertugas mengolah buruan sedangkan aku dan Fajar pergi ke warung untuk membeli beberapa rokok, kopi, dan lain-lain untuk melengkapi menikmati setelah menyantap hidangan yang nati disajikan Adi dan Dika.

Sepertinya mereka berdua sangat intim di dapur bak cheff restoran yang sedang serius mengolah bahan makan dengan berbagai bumbu-bumbu racikan andalannya. Padahal yang meresa sajikan sederhana dengan bumbu yang alakadarnya, tetapi hal itu mereka kesampingkan agar sajian yang mereka buat terlihat menarik bila nanti dihidangkan, dasar ada-ada saja mereka berdua.
Sedangkan aku dan Fajar sibuk mencari warung yang buka pada waktu yang bisa dibilang sudah larut malam, untung saja ada sebuah warung milik seorang yang berasala dari Batak yang masih terlihat ramai dengan dagangannya bertanda warung itu masih buka.

"Bang beli bang, beli rokok sebungkus, dan kopinya dua" Dengan suara khasnya
"Rokok apa? Kopi susu apa kopi hitam?" Jawab si Abang
"Rokok biasa aja deh, kopinya kopi hitam, ya kan Fir?" Tanya Fajar
"Ia deh, biar mantap!" Jawabku

Perlahan aku dan Fajar kembali menuju rumah Adi. Kampung kami memang sudah terlihat sepi, memang tak banyak pemuda yang sering nongkrong di pinggir jalan atau didepan rumah, cuma beberapa saja yang terlihat masih ada yang beraktifitas, itu pun bapak-bapak yang sedang ngeronda sambil bermain Catur ditemani dengan riuh canda tawa mereka.

Beberapa langkah sebelum tiba di rumah Adi, tercium aroma sedap yang melewati indera penciumanku yang sontak membangkitkan rasa lapar yang memang sedang saya rasakan. Mungkin hal ini juga dirasakan Fajar yang terlihat mempercepat langkahnya yang ingin segera sampai.

"Asyikkkkk, udah jadinya makanannya" Ucap Fajar
"Yuk makan yuk" Sambung Dika

Hanya dalam hitungan menit masakan dengan hasil buruan yang kita dapat habis seketika. Aku tadi sempat ane melihat tekstur daging dari masakan tadi apalagi sewaktu Adi berkata "tulangnya jangan dimakan" lah.. kan belut mana ada tulang, kalau adapun cuma duri-duri kecil saja. Tapi ya sudahlah, terlanjur terlena karena nikmatnya tadi aku tak peduli belut macam apa yang aku makan.

***
Kembali ke teras dengan tikat, kopi, rokok kami seperti siaga menjaga malam. Meskipun udara memang semakin dingin tapi semua tak terasa karena kebersamaan kami menghangatkan udara sekitar. Mulai sebuah obrolan terlontar dari mulut Adi.

"Enak gak tadi masakannya Fir?" Adi bertanya padaku
"Enak, not bad lah" Pujiku
"Yoyoiiiiii secara cheff berpengalaman gitu" Sambung Dika
"Hahahaha Yaialah, daging Kodok gtu, lezatttt!" Sahut Fajar sambil tertawa
"Kodok?!!!" Tanyaku kembali
"Hahahaha iya Kodok!" Jawab Fajar
"Hahahahaha" Mereka semua tertawa
"Lah, Kodok kan dagingnya....." Sambungku
"Tenang, halal ko, kan itu Kodok sawah" Potong Adi
"Yakin?!" Tanyaku lagi
"Waallahhuallam....." Jawab Dika
"Nah, lo. .  tuh kan" Sahutku lagi
"Santai yang penting enak, udah masuk perut, dan emang gak haram ini juga, nikmati aja, hahahaha" Timbal Fajar
"Hahahahah yasudahlah nikmati saja" Jawabku

Sial! ternyata yang aku makan itu adalah daging Kodok sawah, memang saya tidak begitu memperhatikan hasil tangkapan sewaktu disawah, karena minimnya cahaya membuatku tidak begitu peduli.
Memang menurut Adi ini terpaksa, habisnya susah sekali mendapatkan belut sewaktu disawah tadi, makanya diganti Kodok sawah. Anehnya rasa daging kodok itu sangat enak serasa daging Ayam. Dan itu pertama kalinya aku memakan daging Kodok sawah.



Tengah malam pun tiba, selesai asyik bercanda dan udara semakin dingin rembulan tepat berada ditengah-tangah langit malam, beberapa hewan malam sepertinya sibuk beraktifitas kami pun memutuskan masuk dan memutuskan menginap di rumah Adi dengan beberapa acara favorit kami dilayar televisi beserta candaan tentang masakan daging Kodok mewarnai malam minggu kami yang mungkin ini sudah menjadi kebiasaan bagi kita.
Mereka terlihat lelah, dan tak lama terlelap memasuki alam mimpi yang siap mereka sambut karena malam ini memang melelahkan. Tapi pengalaman tadi akan masakan daging Kodok menjadi cerita baru yang tak bisa aku lupakan.




SEKIAN

Karya: Moch. Fikri. Faizillah
Email: ffaizillah@gmail.com



*nama tokoh diatas sengaja disamarkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar